Jumat, 02 Maret 2012

KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP LAYANAN PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS


Oleh : Fitriyani Manik, M.Psi.

PENDAHULUAN
Anak merupakan titipan tuhan yang harus kita jaga dan kita didik agar ia menjadi manusia yang berguna dan tidak menyusahkan siapa saja. Seiring dengan ungkapan anak adalah titipan dari Yang Maha Pencipta, maka peliharalah dengan sebaik-baiknya, berilah tempat yang paling baik, jadikanlah manusia yang berguna karena anak itu terlahir suci ibarat kertas putih. Bagaimana kertas itu menjadi berwarna-warni maka tergantung pada orang tua dan lingkungan yang akan memberi warna maupun coretan pada kertas tersebut.
Secara umum anak mempunyai hak dan kesempatan untuk berkembang sesuai potensinya terutama dalam bidang pendidikan. Anak berkebutuhan khusus atau diffable usia sekolah adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam Anak Berkebutuhan Khusus antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Anak luar biasa adalah anak yang memiliki penyimpangan sedemikian rupa / signifikan dari anak pada umumnya dalam segi fisik, kecerdasan, sosial, emosi atau gabungan dari kelainan tersebut sehingga untuk mengembangkan potensinya secara optimal diperlukan layanan pendidikan khusus. Karena karakteristik dan hambatan yang dimiliki, Anak Berkebutuhan Khusus memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka. Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. Misalnya pada anak berkebutuhan khusus Tunagrahita, Tunagrahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang signifikan berada dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi prilaku yang muncul dalam masa perkembangan.
Pembelajaran bagi individu tunagrahita lebih di titik beratkan pada kemampuan bina diri dan sosialisasi. Selama ini cara pandang terhadap anak berkebutuhan khusus, masih negatif maka pemenuhan hak anak berkebutuhan khusus juga belum dapat memperoleh hak yang sama dengan masyarakat lainnya. Persamaan hak sebenarnya telah diatur dengan berbagai perangkat perundangan formal, tetapi permasalahannya tidak adanya sanksi yang jelas terhadap pelanggaran peraturan yang ada, sehingga masih banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang belum memperoleh haknya. Sehubungan dengan itu maka guru sebagai ujung tombak pendidikan formal perlu memberikan layanan secara optimal bagi semua siswa termasuk anak berkebutuhan khusus.
Dalam UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat disebutkan bahwa “setiap penyandang cacat mempunyai hak yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan”. Tentunya aspek-aspek tersebut mencakup pula aspek pendidikan yang menjadi kebutuhan semua orang. Kemudian terdapat penjelasan tentang pendidikan khusus ini disebutkan pada pasal 32 ayat 1, pendidikan merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelaianan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan. Terkait dengan peluang untuk memperoleh pendidikan, UU Nomor 20 Tahun 2003 tenyang Pendidikan Nasional dalam pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Pada pasal 5 ayat 2 Warga Negara yang mempenyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Problem akan akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ini bukan karena faktor cacat yang dimilikinya, tetapi ada pada faktor eksternal penyandang cacat itu sendiri. Walaupun secara yuridis sudah tersedia perangkat regulasi yang memberikan peluang akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ini, namun peluang itu belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh para penyandang cacat. Terlebih pada era otonomi daerah kewenangan dibidang pendidikan berada ditangan daerah, itu artinya pemberdayaan potensi penyandang cacat merupakan hak untuk pemerintah daerah. Hal ini bukan merupakan tugas ringan dan tidak mengkin dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Pemerintah daerah perlu melakukan adaptasi terhadap program yang sudah ada sebelumnya dan juga harus melakukan inovasi program agar penyandang cacat terfasilitasi dengan baik sebagaimana warga masyarakat pada umumnya.
PEMBAHASAN
Data Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dari Badan Pusat Statistik (BPS), di Indonesia ada 1,48 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk. Yang berusia sekolah, 5-18 tahun, ada 21,42 persen, atau 317.016 anak. ABK (anak berkebutuhan khusus) yang sudah memeroleh layanan pendidikan baik di sekolah maupun inklusif baru 28.897 atau 26,15 persen. Data itu berarti ada 234.119 atau 73,85 persen ABK (anak berkebutuhan khusus) di Indonesia yang belum sekolah. Jumlah total Sekoah Luar Biasa (SLB) ada 1.311 sekolah, dengan status negeri 23 persen, atau 301 sekolah. Dan swasta 77 persen, atau 1.010 sekolah. Ini menunjukkan bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan bagi ABK (anak berkebutuhan khusus), masih belum dominan. Sebarannya juga belum merata, cenderung terpusat di Jawa saja. Jatim (302), Jabar (203). dan Jateng (109). (Prof. Suyanto, PhD. 2010)

Langkah Antisipatif
Banyak persoalan di sekitar layanan bagi anak berkebutuhan khusus untuk dapat mengakses pendidikan. Dan tentu saja, persoalan tersebut tidak dapat terselesaikan dalam waktu singkat, namun harus dilakukan dengan tahapan yang sistematis. Meskipun bukan sebuah solusi yang cepat, tetapi beberapa langkah berikut dapat membantu anak dengan kebutuhan khusus untuk lebih cepat mengakses layanan pendidikan:
1. Membuat regulasi UU yang terkait dengan penyediaan layanan bagi anak-anak berkebutuhan khusus,
2. Menganggarkan dana khusus dari APBN ataupun APBD untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus,
3. Memberikan dukungan dan sarana layanan secara lebih luas berbagai informasi untuk para penyandang cacat misalnya untuk penyandang cacat tuna netra seperti jasa layanan yang lebih diperluas dalam bentuk naskah berhuruf braile, kaset audio, computer suara, penyediaan jasa layanan pembacaan, Untuk tuna rungu, dikembangkan komunikasi total yaitu cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat dan bahasa tubuh pada lembaga-lembaga pendidikannya,
4. Penyediaan sarana umum pendidikan yang dapat diakses secara mandiri oleh anak berkubutuhan khusus misalnya perpustakaan dan gedung kualiah
5. Mendorong adanya empati bagi para pembuat kebijakan terhadap mereka yang berkebutuhan khusus.
6. Mendorong peran swasta untuk ikut serta membantu pemberdayaan anak berkebutuhan khusus, untuk membuat mereka (ABK) semakin mandiri. Jika pihak swasta memberdayakan anak-anak berkebutuhan khusus, maka ada nilai plus bagi perusahaan yang bersangkutan. Baik dari sisi humanitarian, atau berkemanusiaan, maupun dari sisi politis.

Kebijakan Pemerintah Antara Lain Pendidikan Luar Biasa
Pendidikan Luar Biasa (PLB) adalah pendidikan yang khusus diselenggarakan bagi peserta didik yang menyandang kelainan fisik, mental, perilaku atau gabungan diantaranya. Pendidikan Luar Biasa (PLB) bertujuan membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik, mental atau keduanya agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan.
Jenis kelainan peserta didik berdasarkan PP RI No. 27 tahun 1991 tentang PLB disebutkan yaitu terdiri atas kelainan fisik yang meliputi tuna netra, tuna rungu, tuna daksa. Kelainan mental yang meliputi tuna grahita ringan, tuna grahita sedang, kelainan perilaku yaitu tuna laras atau gabungan diataranya. Mereka yang menderika kelainan tersebut dididik dalam satuan pendidikan yang berbentuk TK Luar Biasa, SD Luar Biasa, SLTP Luar Biasa, SM Luar Biasa atau bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan. Isi kurikulum PLB sedapat mungkin disesuaikan dengan isi kurikulum sekolah pada umumnya dengan memperhatikan keterbatasan kemampuan belajar para siswa yang bersangkutan pada jenjang pendidikan tertentu.
Program penyelenggaraan Pendidikan Luar Biasa (PLB) yang telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh Direktorat Pendidikan Luar Biasa (PLB ) antara lain:
1. Upaya Penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.
2. Peningkatan Mutu PLB Upaya peningkatan mutu Pendidikan Luar Biasa melalui :
a. Peningkatan mutu dan kualifikasi guru sekolah luar biasa
b. Penyediaan buku-buku teks, penyediaan sarana dan prasarana PLB, dan pelaksanaan EBTA SLB Khusus secara nasional.
c. Pembinaan dan pengembangan center percetakan Braille.
3. Pengembangan Pendidikan Inklusi.
Pendidkan inklusi adalah pendidikan yang mengikutsertakan anak-anak yang berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak-anak sebayanya di sekolah umum, dan pada akhirnya mereka menjadi bagian dari masyarakat sekolah tersebut, sehingga tercipta suasana belajar yang kondusif. Upaya pendidikan inklusi harus diwujudkan di Indonesia, hal ini dilandasi bahwa semua manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama.
4. Pengembangan Pendidikan untuk Anak Autisme Autisme.
Merupakan gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas imajinasi/simbolik. Dalam memberikan pelayanan pendidikan bagi anak autisme memerlukan cara atau metode khusus sehingga mereka mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya. Berdasarkan pemikiran tersebut maka Direktorat PLB perlu memfasilitasi agar anak-anak autisme mendapat pelayanan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya.
5. Resource Center.
Resource Center dalam implementasinya adalah SLB-A Negeri dan Swasta yang ditunjuk untuk menjadi pusat pencetakan buku pelajaran maupun buku-buku referensi bagi siswa dan kaum tuna netra di masyarakat dalam huruf Braille.
6. Pusat Pelayanan Pendidikan bagi Siswa Penderita Narkoba
Model layanan pendidkan harus berpijak pada misi utama : pertama, model layanan pendidikan harus mengejawantah sebagai wujud pemenuhan hak belajar siswa penderita. Kedua, model layanan pendidikan harus mampu mengembalikan atau memulihkan prakondisi psiklogis siswa penderita untuk tetap belajar sebagai upaya meningkatkan kembali self-esteem-nya yang sempat terganggu karena pengaruh narkoba.Bahkan bukan tidak mungkin bahwa proses pembelajaran sekaligus dapat merupakan terapi non-medis bagi upaya pemulihan kondisi psikis siswa penderita.
7 .Sheltered Workshop
Guna memenuhi tuntutan pasar tenaga kerja dan membudayakan hidup berwirausaha maka konsep lifi skills education di sekolah merupakan wacana baru dalam pengembangan program pendidikan dan sejak lama menjadi perhatian para pakar kurikulum. Life Skills merupakan salah satu fokus analisis dalam pengembangan kurikulum pendidikan sekolah yang menekankan pada kecakapan atau keterampilan hidup atau bekerja.
8. Pendidikan Keterampilan bagi Lulusan SLTPLB dan SMLB
Pendidikan keterampilan bagi para lulusan SLTPLB dan SMLB yang diberikan, sesuai dengan kemampuan fisik dan minat anak yang mengacu pada kurikulum PLB.
9. Program Percepatan Belajar (akselerasi)
Program percepatan belajar merupakan salah satu model pelayanan pendidikan bagi peserta didik yanng memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa (Gifted dan Talented). Penggunaan istilah kemampuan dan kecerdasan luar biasa ini berkait erat dengan latar belakang teoritis yang digunakan, kecerdasan berhubungan dengan perkembangan intelektual, sedang kemampuan luar biasa tidak hanya terbatas pada kemampuan intelektual, namun juga beberapa jenis kemampuan lainnya misalnya linguistik, musikal, spasial, logikal-matematikal, kinestetik, intrapersonal, dan interpersonal.
10. Pemberian Beasiswa
Direktorat PLB memberikan bantuan beasiswa kepada siswa SLB/SDLB dengan tujuan:
a. meringankan beban orang tua siswa
b. memberi motivasi kepada siswa untuk lebih giat belajar
c. memberi motivasi kepada orangtua untuk lebih memperhatikan pendidikan anaknya
d. mendorong sekolah untuk lebih memberikan pelayanan pendidikan.

Kesimpulan
Anak Berkebutuhan Khusus seharusnya memperoleh pelayanan secara khusus. Pendidikan anak berkebutuhan khusus hendaknya menjadi satu kesatuan dengan pendidikan normal lainnya, sehingga tidak akan terjadi isolasi pada mereka yang menderita kelainan. Untuk itu upaya pemerintah dalam reformasi pada pendidikan yang ditujukan kepada anak berkebutuhan khusus adalah amat mendesak agar sumber daya manusia bisa berfungsi secara maksimal. Jelas sekali bahwa upaya ini perlu adanya dukungan berbagai pihak yaitu dari pemerintah, masyarakat maupun sekolah sebagai pelaksana operasional. Pemerintah berperan untuk mendesain sistem Pendidikan Luar Biasa yang memungkinkan peserta didik dapat berkembang secara maksimal dan mendapatkan peluang kerja. Masyarakat berperan untuk memperlakukan peserta didik yang memiliki kelainan seperti halnya siswa-siswa lain yang normal. Sekolah berperan untuk melaksanakan pendidikan secara terintegrasi antara anak normal dan anak yang menderita kelainan.
Saran
Pentingnya pelayanan pada anak berkebutuhan khusus hendaknya para pemerintah mampu memberikan layanan secara khusus pada anak-anak yang membutuhkan sehingga anak-anak tersebut tidak kehilangan hak-haknya.

Pustaka
1. Kartono Kartini, 1995. Psikologi Anak. Bandung, Mandar Maju.
2. UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
3. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
4. Yundhini, Anna. (2006). Proposal Penelitian: Pembelajaran Bagi Anak Tunagrahita di Sekolah Dasar. Bandung: Program sarjana Univerditas Pendidikan Indonesia.
5. Suparno, 2007. Pendidikan anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta, Dirjen Dikti Depdiknas
6. Suyanto, 2010. Wawancara Eksklusif soal Pendidikan Inklusif, Dirjen Mandikdasmen, Jakarta. www.Bataviase.co.id